KIPER (Kajian Perkaderan) ed. 2 : yang mampu beradaptasi adalah pemenang (PART 2)

Bismillah..

Kita lanjutkan lagi tulisan mengenai rangkuman hasil diskusi KIPER (Kajian Perkaderan) edisi 2 yang diadakan oleh Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kota Bandung Kemarin. Di tulisan sebelumnya kita sudah sedikit membahas pemaparan dari Kang Imam Sholehudin tentang Inovasi Gaya Baru Ber-IPM dan Spirit Inovasi dalam Al Quran bagi Pelajar. Bagi yang belum membaca artikel sebelumnya, penulis sangat menganjurkan untuk membacanya terlebih dahulu pada laman berikut KIPER (KajianPerkaderan) ed. 2 : Lanjutan pencarian ide dan gagasan soal digitalisasiperkaderan (PART 1) Jika sudah, mari kita lanjutkan pada pemapar selanjutnya yaitu Teh Rani Kustiani yang akan mendiskusikan tentang Digital Distruption era, dampaknya pada bidang pendidikan dan refleksi urgensi pelaksanaan perkaderan di era ini.

Untuk membahas hal ini kita buka dengan kata “Welcome to the age of Digital Darwinism”. Jika kita mengingat kembali teori Darwin, Inti yang paling pokok dari teori itu Darwin mengatakan Bahwa setiap makhluk hidup harus berevolusi. Kenapa setiap makhluk hidup harus berevolusi? Karena salah satu rule kita di dunia untuk bertahan hidup, dan kenapa saat ini manusia masih “ada”? alasannya karena mereka berhasil berevolusi. Jika ditanya, manakah pihak yang memiliki kemungkinan lebih besar bisa bertahan hidup atau Strugling sampai akhir? Apakah yang paling kuat? Yang paling pintar? Atau yang paling cepat beradaptasi? Atau malah ketiganya? Jadi dalam teori evolusi darwin ini dikatakan yang paling bisa bertahan sampai akhir adalah bukan yang paling kuat, bukan yang paling pintar, tapi justru yang paling cepat bisa beradaptadi. Jadi mereka yang cepat memahami situasi dan kondisi, kemudian cepat menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi saat ini, maka merekalah yang bisa jadi pemenang dan bertahan sampai saat ini.

Jika kita membahas disruption era, fokus pertama dan pertama kali digunakannya dalam dunia bisnis. Dimana teknologi digital hari ini mengubah nilai-nilai yang ada dalam bisnis, karena dengan percepatan teknologi berdampak pada perubahan perilaku konsumen, dari yang semula semua serba konvensional, tiba-tiba semuanya pake teknologi. Contohnya kita bisa lihat sendiri, seperti : anggapan kita daripada jalan sendiri dari rumah ke tempat ojek, kita lebih memilih untuk dijemput langsung di rumah kita langsung oleh ojek online, dari pada kita harus ke pasar, menawar-nawar belanja dan ongkos juga, lebih baik kita pesan segala kebutuhan dari rumah langsung nanti datang diantar ke rumah, bahkan seperti konsultasi dengan dokter pun kini lewat digital.

Lalu bagaimana jika distruption ini masuk ke dunia education atau pendidikan? Sebetulnya sebelum hadirnya pandemi yang mana semua tiba-tiba melakukan sekolah secara online atau daring, sudah ada beberapa orang yang melakukan pembelajaran mandiri dengan menggunakan teknologi. Misalnya : ada orang yang mahir bahasa lewat Youtube, lalu sebelum kita familiar dengan flatfrom belajar online google classroom, dsb sebelumnya sudah ada tempat-tempat bimbel yang lewat digital seperti Zenius, Ruang Guru, dll. Barulah pada saat hadirnya pandemi ini akhirnya semua orang merasakan rasanya sekolah digital atau menggunakan flatform digital dalam menerima pendidikan. Tentu penggunaan digital dalam pendidikan ini ada pro kontranya. 

Pendapat pro, pertama tentu dari segi aksesibilitas, di dunia digital kita bisa mengunduh apapun, materi bisa dilihat dimanapun, dan kapanpun. Kedua, secara biaya akan lebih murah, sangat jelas misalnya pelaksanaan Taruna Melati (TM) jika dilaksanakan secara online ketimbang dilaksanakan secara offline biasanya. Dalam pelaksanaan offline kita butuh transport pemateri, transport peserta, makan, cofee break, dsb. Adapun kalau dengan digital kita lebih fokus membangun materinya, bagaimana caranya agar materi bisa sampai ke peserta dan bisa difahami dengan mudah. Meskipun banyak dana keluar dari point itu, tapi malah jadi lebih terjangkau dibandingkan dengan pelaksanaan offline tadi. Ketiga, akan cocok dengan gaya belajar apapun. Mau yang berkelompok, individual, semuanya bisa diakomodir semua gaya belajar setiap orang. Jadi sebenarnya jika memang materinya di build dengan benar pasti bisa dan mudah di fahami oleh siapun yang menerimanya.

Adapun pendapat kontra, pertama kita akan terhambat dengan fokus, kadang berada di satu tempat dan berkomunikasi langsung degan pemateri saja agak kesulitan untuk fokus, kadang ngantuk, tidak konsentrasi, dsb. Apalagi hanya dengan gadget atau laptop di depan kita akan sangat mudah terganggu fokusnya. Kedua, ada permasalahan teknologi, seperti gangguan jaringan bisa membuat terlambat, berhenti ditengah-tengah, dan berbagai problem teknologi lainnya. Ketiga, ada rasa terisolasi, karena kalau secara langsung kita terbiasa bersosialisasi, dan makhluk hidup tidak bisa tidak harus bersosialisasi, namun dengan digital, walaupun realtime tetap terpisah ruang dan waktu jadi akan ada rasa tetep merasa sendirian.

Selanjutnya, timbul pertanyaan kenapa pendidikan tetap dibutuhkan meskipun sedang kondisi pandemi? apa yang membuat pendidikan tetap harus terus dijalankan di kondisi seperti ini? kita tahu ada guru yang belum familiar menggunakan teknologi harus mati-matian belajar agar tetep bisa mengajar, ada anak-anak yang gak punya gadget, tidak difasilitasi teknologi, harus mengusahakan harus punya. Seperti apapun yang terjadi ini mereka tetep mengusahakan bahkan “memaksakan” agar pendidikan itu tetap berjalan, Kenapa sih alasannya? Jika tidak ada tujuan yang jelas kan gak mungkin. Sesuatu yang rasanya mungkin “saklek” seperti sekolah itu harus di dalam tempat, harus bertemu langsung guru, harus mengajarkan siswa untuk bersosialisasi satu sama lain, kalau memang “saklek” seperti itu tidak mungkin sekolah tetep dipertahankan berjalan di kondisi pandemi ini.

Karena ada tujuan yang jelas dari pendidikan, kegiatan pendidikan dan pembelajaran terus dilakukan. Karena dari pendidikan ini kita belajar tentang basic skill, mendapat pengetahuan, mengembangkan talenta, dan bersosialisasi sebagai makhluk hidup.

Masuk ke soal perkaderan, nanti pun semisal perkaderan akan tetap di jalankan secara digital, pertanyaannya adalah apakah perkaderan ini sama pentingnya dengan pendidikan? Kalau misalnya memang sepenting itu, sebenarnya tidak masalah. Tinggal kita harus cari tahu dengan pasti tujuan dari perkaderan ini apa sampai harus terus dilakukan, dan jika sudah diitemukan tujuannya apa, kenapa tetap melaksanakan perkaderan di tengah pandemi seperti ini, tinggal kita buat jalannya, buat metodenya, diskusi, dsb. Kita harus creat sedapat mungkin agar tujuannya tercapai dan tidak salah arah.

Untuk coba mereflesikan kembali urgensi pelaksanaan perkaderan meski di tengah pandemi, mari kita cermati beberapa point-point penting tentang perkaderan pada gambar-gambar di bawah ini :

1. Perkaderan adalah sarana pewarisan ideologi IPM

2. Perkaderan untuk membentuk Kader IPM yang Militan dan Berakhlak Mulia

3. Mengembangakan Peran Kader IPM menjadi Kader Persyarikatan ataupun Kader Umat dan Bangsa

4. Menanamkan Kepribadian Kader IPM

Terakhir artinya, tinggal kita kalkulasikan kembali apakah mungkin mencapai point-point di atas, dengan format perkaderan digital. Jika memang memungkinkan, indikatornya terukur, implematasinya pun jelas, kenapa tidak perkaderan ini bisa dilakukan secara digital.

Waah baru pemapar kedua, dan masih sangat seru pembahasannya, sepertinya kita harus lanjut lagi ke postingan selanjutnya di laman berikutnya nih.. next KIPER (Kajian Perkaderan) ed. 2 : Tantangan belum berakhir, cukup anggap memang tidak akan berakhir (PART 3)

BY RM..


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Pelajar

KEFASILITATORAN : Peluang Sekali Mendayung Tiga Pulau Terlampaui